top of page

Remaja drama, drama remaja: Apa kata neuropsikologi?


Sumber : wixsite image stock


Taiwan-taipei – Katanya hidup remaja adalah hidup kebanyakan drama. Iya kah? Nampaknya semua orang, baik tua ataupun muda, punya dramanya masing-masing. Tetapi entah mengapa, khusus di masa remaja seolah semua hal nampak jauh lebih heboh. Kalau satu drama sudah selesai, drama lain seolah sudah menunggu untuk unjuk gigi. Bahkan kalau bisa viral... Kalau bisa semua orang harus tahu apa yang kita pikirkan dan rasakan setiap harinya. Tidak jarang sosial media juga menjadi wadah untuk kita berdebat tentang apapun itu. Mulai dari saling komen bahkan saling stitch video. Semakin keruh, semakin heboh, dan semakin viral tentu semakin berprestasi rasanya. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, terkadang capek juga. Bahkan pola semacam ini di media sosial cenderung semakin toxic. Saling block lah, neror pakai akun bodong lah, bahkan banyak juga yang menyebarkan aib “lawan” di sosial media.


Kalau dijabarkan lebih lanjut, mungkin sampai 1,000 halaman tidak akan selesai untuk membahas drama remaja. Tetapi apa yang sebenarnya mendorong ini semua terjadi? Apakah ini normal? Atau mungkin ada yang salah dengan remaja masa kini?

Salah satu pendekatan keilmuan yang kita bisa pakai untuk menjawab permasalahan ini adalah neuropsikologi. Yup, ilmu tentang otak dan hubungannya dengan proses mental dan perilaku. Jangan stop baca di sini ya :) Tidak sesulit itu kok untuk dipahami.

Ada satu bagian otak yang sangat menarik dan perkembangannya bisa dikatakan sebagai penentu kedewasaan kita. Bagian otak itu adalah prefrontal cortex. Bagian otak ini memiliki proporsi yang cukup besar, dan kita bisa lihat gambarnya di bawah ya.



Sumber: https://stock.adobe.com/search?k=frontal+lobe&asset_id=73625549




Prefrontal cortex memainkan peranan yang penting di dalam proses berpikir manusia. Salah satu yang paling menarik di antara proses berpikir itu adalah kemampuan untuk mengontrol emosi dan dorongan naluriah manusia pada umumnya (misalnya rasa lapar atau kebutuhan biologis lainnya).


Nah, bayangkan kalau bagian otak ini belum berkembang secara maksimal. Mungkin kita akan cenderung kesulitan di dalam mengontrol berbagaimacam emosi yang mewarnai hari-hari kita. Misalnya, kita bisa menjadi pribadi yang “senggol bacok”, atau sebaliknya butuh asupan “meme receh” setiap hari agar bisa ketawa ngakak terus.


Tetapi tidak sampai situ saja, prefrontal cortex membantu kita untuk FOKUS! Fokus adalah kemampuan kita untuk tetap berpikir mengenai satu hal yang harus kita pikirkan atau kerjakan kendatipun adanya begitu banyak distraksi di dalam isi kepala kita. Misalnya, kita tentu pernah mengalami sulitnya mempertahankan fokus ketika mengerjakan ujian di kelas, khususnya ketika sebagian siswa lain telah selesai dan mengumpulkan kertas ujian mereka kepada penguji. Mungkin banyak suara di dalam kepala kita mengatakan: “aduh, orang udah pada selesai, sedangkan masih banyak soal yang belum aku bisa jawab”, atau “duh orang udah pada selesai ya? Berarti waktunya udah tinggal sedikit? Duh duh duh”. Percayalah, suara-suara seperti ini justru yang membuat performa kita pada saat mengerjakan tugas semakin menurun. Hal ini dikarenakan otak kita harus bekerja dua, tiga, empat, atau sekian kali lipat, dimana kita perlu setidaknya: 1) mengerjakan soal, 2) menenangkan emosi, 3) tetap fokus dengan soal yang dikerjakan, dan lain sebagainya. Terkadang di momen-momen genting seperti ini, kita bahkan bisa lupa akan hal-hal yang sederhana, misalnya lupa dimana kita menaruh penghapus, atau bahkan lupa rumus mudah yang sudah lama kita hafalkan. Nah, prefrontal cortex diyakini mampu membungkam semua suara-suara distraksi dalam pikiran tersebut, sehingga membuat kita bisa tetap fokus di tengah gempuran distraksi pikiran dan emosi di dalam melakukan hal apapun.


Lantas, apakah ada keterkaitan antara aktivitas prefrontal cortex dengan betapa dinamisnya drama kehidupan remaja? Nampaknya kebanyakan ahli berpendapat “ya”. Satu fakta lain yang menarik mengenai prefrontal cortex adalah bahwa bagian otak ini merupakan bagian otak yang paling terakhir berkembang secara maksimal jika dibandingkan dengan bagian otak lainnya. Umumnya, perkembangan bagian otak ini akan mencapai puncaknya di usia 20-25 tahun, sehingga perkembangan prefrontal cortex dapat dikatakan belum cukup matang di usia remaja. Padahal, bagian-bagian otak yang memunculkan emosi dan perkembangan seksual (pubertas) sudahlah matang di fase perkembangan ini. Mungkin kita bisa membayangkan, adanya begitu banyak dorongan pemenuhan emosi dan hasrat, namun kita belum cukup mampu meredam itu semua. Alhasil, masa remaja mungkin akan menjadi masa yang penuh dengan amarah, tangis, cemas, namun juga gelak tawa yang berlebih. Lebih-lebih, tuntutan sosial hari ini nampaknya tidak ada habis-habisnya, mulai dari persaingan jumlah follower di sosial media hingga ujian masuk perguruan tinggi yang susahnya tak terwakilkan oleh kata-kata. Situasi ini juga cenderung menjadikan kita sebagai seorang risk taker, atau pengambil keputusan yang berisiko. Semakin berisiko, semakin asik. Semakin berisiko, semakin memenuhi hasrat naluriah dan emosional kita.


Lantas, apakah lambatnya perkembangan prefrontal cortex dapat dijadikan pembenaran atas semua drama-drama kehidupan remaja yang terkadang toxic dan justru merugikan orang lain? Tentu jawabannya tidak.

Teruntuk kita yang masih berjuang untuk belajar 10 menit tapi scroll Instagram dan TikTok bisa sampai 10 jam.


Belajarlah untuk mengestimasi pencapaianmu di masa depan. Mulailah sesuaikan apa yang kamu lakukan dengan apa yang kamu harap untuk raih di masa depan. Jika dirimu tak sanggup untuk mengingatkanmu di kala “kalap” dengan sosial media, cobalah atur reminder di handphone­-mu, sertakan kalimat-kalimat yang menyemangatimu untuk terus berjuang dalam meraih mimpimu. Jika handphone-mu tak lagi mampu membuatmu sadar di kala kamu terhanyut dalam hiburanmu, bentuklah kelompok kecil dengan teman yang se-frekuensi untuk saling mendukung di dalam meraih mimpi-mimpi kalian. Hiburan di waktu senggang tentulah baik, tapi ingatlah… Hitung dan estimasi yaa..


Teruntuk kita yang yang masih berjuang untuk move on karena ditolak, baik secara langsung ataupun tidak langsung (misalnya PHP, ghosting, friend zone, dll), oleh crush kita atau mungkin sekolah impian kita, dan hal-hal lain yang kita impikan. Mungkin sampai-sampai gak mood makan, gak mood belajar, dan bahkan gak mood ibadah minggu.

Tentu tidak ada yang melarangmu untuk bersedih. Tidak ada yang melarangmu untuk kecewa dengan hasil akhir yang seolah tak berpihak padamu. Jangan dipendam ya… Lihatlah sekelilingmu, percayalah Tuhan menyediakan tempat bagimu untuk berkeluh-kesah. Bahkan Tuhan sendirilah Sahabat setiamu.


Teruntuk kita yang masih berjuang untuk bisa stop dari kecanduan terhadap hal-hal yang berisiko, apapun itu bentuknya. Balapan di jalan, tawuran, malak, atau mungkin pornografi.


Memang betul, kita perlu sarana untuk menyalurkan adrenalin yang berseliweran di dalam kepala kita. Menyalurkan semua ide-ide gila yang bisa saja bernilai positif dan bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi balapan liar, tawuran, dan pemalakan bukanlah hal yang membangun. Itu tidak hanya merugikan orang lain, namun juga tidak membangun dirimu sendiri untuk menjadi pribadi yang matang. Mungkin latihan beladiri? Atau olahraga di gym? Nampaknya itu jauh lebih keren. Dan kalau belum kepikiran, mungkin kita bisa diskusikan dengan orang tua, guru, ataupun kakak layan teruna untuk menginisiasi wadah-wadah kreatif pengambangan minat-bakat kita sebagai teruna.


“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” (Galatia 5:22-23)


Perlu kita ketahui, dari kasih hingga penguasaan diri adalah satu kesatuan buah Roh yang perlu kita pupuk setiap harinya. Semuanya satu dan saling berkaitan. Semuanya tumbuh bersama-sama. Mari kita mohon Tuhan untuk menumbuhkan buah Roh tersebut melalui segala pengalaman yang setiap hari Tuhan izinkan untuk kita lalui. Sehingga pada waktunya, kita tidak selalu terjebak di dalam drama-drama yang tidak perlu kelak ketika memasuki usia dewasa.

VMT



bottom of page